Masalah Ekonomi Bukan Penghalang Menjadi Santri



Ekonomi adalah usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Krisis ekonomi adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang dikarenakan tidak adanya barang (uang) untuk ditukar dengan kebutuhan. Sekarang terjadi krisis ekonomi disebabkan oleh dampaknya yang sangat memprihatinkan bagi setiap masyarakat. Perubahan ekonomi yang terjadi cepat mengarah kepada turunnya nilai tukar mata uang dan harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi.


Banyaknya hutang luar negeri terjadi krisis ekonomi dan terjadi korupsi sehinga banyak terjadi kemiskinan dimana-mana, pengangguran dan hasil upah kerja sehari-hari tidak mencukupi kebutuhannya. Akibatnya menghambat untuk membiayai anak-anaknya yang menuntut ilmu baik di dayah maupun pesantren.


Santri adalah nama julukan yang indah yang diberikan kepada seseorang menuntut ilmu agama  yang menetap disebuah naungan dayah atau pesantren. Menjadi seorang santri bukan hal yang mudah yang bisa sesuka hatinya berbuat, akan tetapi dia harus punya rasa tanggung jawab yang besar, yang pertama dia  harus  benahi dengan akhlakul karimah, setelah itu dia harus mengikuti rambu-rambu peraturan di dayah. Menjadi seorang santri bukan hanya mendengar surah kitab dari seorang mudarris(guru), tetapi dia harus aktif dalam bertanya dan menjawab disaat ditanya walaupun kurang tepat karna dari situlah akan mendapat ilmu dan selalu rajin mengulang dan mencatat apa yang disurahkan oleh mudarrisnya(gurunya).


Ciri khas santri berbeda-berbeda karakter ada yang pendiam, ada yang suka menganggu dan  ada yang aktif. Gaya hidupnya berbeda-berbeda dari segi pakaian, potensi bervariasi dan sebagainya sehingga santri akan diluruskan menjadi santri yang bernuansa islami dan berakhlakul karimah di dalam naungan dayah.


Sekarang  hal yang terbesar yang dialami santri adalah krisis ekonomi, akibat hal tersebut terjadi santri berhenti di tengah jalan menuntut ilmu agama. Sebenarnya itu bukan penghalang terbesar, karena  setiap sesuatu itu akan dapat diselesaikan jika mempunyai keyakinan dan tekad yang kuat seperti pribahasa arab yang dikutip dalam sebuah hadis yang terkenal “Man jadda wa jadda yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh pasti  mendapatkannya.”


Perjalanan ulama mendapat sebuah ilmu bukan hal yang sangat mudah, mereka hanya membawa bekal yang sedikit diakibatkan kondisi ekonomi orang tuanya, adakala mereka hanya membawa dua pakaian atau tiga pakaian saja karna itu yang dimiliki oleh mereka dan mereka selalu membawa bekal yang sangat penting yaitu akhlakul karimah. Mereka tidak pernah mengeluh dengan keadaan mereka, adakala mereka makan adakala tidak, mereka mencari ekonomi sendiri karna mereka tahu bahwa orang tuanya tidak berkecukupan.


Mereka selalu ta’dhim kepada mudarrisnya, mereka melewatinya dengan penuh kesabaran dan Alhamdulillah mereka mendapat ilmu yang ikhlas diberikan oleh mudarrisnya,  sehinngga mereka menjadi ulama. Santri jangan pernah mengeluh contohlah ulama dalam menuntut ilmu jangan putus ditengah jalan, cobalah mencari solusinya dengan berbicara kepada muddaris atau pimpinan dayah  jangan langsung mengambil keputusan  bahwa  saya akan berhenti mengaji karna  diakibatkan  tidak ada biaya. Jangan mengucapkan hal demikian, adakala ada rezeki yang diberikan oleh Allah swt melalui saat kita membantu mudarris, ada kala infak dari orang lain dan sebagainya. Tanamkan sifat optimis, ikhtiar dan bertawakkal kepada Allah swt karna Allahlah yang memberi kenikmatan dan kesusahan.


Seorang pelaut terombang-ambing di lautan teduh selama dua puluh satu hari, tatkala selamat ia ditanya oleh banyak orang tentang pelajaran besar yang ia dapatkan dari peristiwa itu. Katanya,”Pelajaran terbesar yang dapat aku ambil dari pengalaman ini adalah jika anda masih memiliki air yang bersih dan makanan yang cukup, tak perlu bersedih dan putus asa maka bersyukurlah apa yang ada yang telah diberikan oleh Allah SWT.”


Seorang salaf berkata kepada salah seorang yang kaya, ”Aku melihat nikmat pada dirimu, maka ikatlah ia dengan rasa syukurmu.”


Allah berfirman :


“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim:7)


Terkadang santri sering mengeluh dengan adanya kesulitan dan “Adakah kesulitan itu” jika diantara kita ditanya seperti itu, maka kita harus jawab kesulitan itu tidak ada, yang ada adalah seorang yang tidak mempunyai ilmu dan wawasan yang luas untuk memecahkan persoalan yang sulit yang dia hadapi. Jika santri  “Tahu ilmu”  tentu dengan mudah mereka akan memecahkan tiap-tiap kesulitan yang mereka alami di dalam dayah.


Lari dari kesulitan adalah tindakan yang sangat keliru, dan pasrah terhadap kesulitan juga tidak baik. Yang lebih baik dan tepat adalah memerangi kesulitan itu dengan sebaik-baiknya.


Terkadang seseorang santri mengambil keputusan  dengan terburu-buru tanpa berfikir panjang, adakala ada santri yang  mampu bertahan dan mencari solusinya. Karna setiap yang dialami santri ada beberapa faktor dibalik krisisnya ekonomi yang dapat dibagi kedua macam pembagian: yang pertama faktor  pendapatan orang tua,  yang kedua faktor dari dirinya sendiri , faktor  dari  orang  tua  adakala  saat  penghasilannya  pas-pasan  adakala  tidak  ada, yang kedua  faktor  dari  dirinya  sendiri  adalah diakibatkan saat diberikan uang pas-pasan atau sedikit mereka tidak mempergunakan dengan baik adakala mengikuti apa yang dia inginkan.


Faktor-faktor  ini harus diselesaikan persoalan agar tidak terjadi krisis ekonomi bagi santri dengan cara,  saat diberikan  uang pas-pasan mereka harus mampu membuat sebuah target untuk mencukupi sehari-hari  dan jangan mengikuti gaya model mereka yang berkecukupan karena jika mengikuti akan terjadi krisis ekonomi.


Santri harus menanamkan sifat qanaah yaitu sifat merasa berkecukupan  dan bersyukur apa yang telah diberikan oleh Allah swt, menanamkan rasa sabar bahwa segala ujian harus dihadapi dengan rasa sabar,berikhtiar  yaitu berusaha, istiqamah yaitu teguh pendirian tanamkan dalam hati bahwa saya tetap selalu beristiqamah walaupun di timpa cobaan, kemalasan dan sebagainya  akan tetap bertahan di dayah atau pesantren  dan  bertawakkal  selalu  kepada Allah swt.


Setiap santri harus punya rasa kesungguhan hati agar dia mampu mengikuti liku-liku perjuangan dan rintangan. Seperti yang dikatakan dalam kitab Ta’limul Muta’allim pasal 5 bab kesungguhan hati yang berbunyi:


Kemudian, penuntut ilmu juga harus bersungguh hati dan terus menerus demikian.


Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 69 :


“Dan mereka yang berjuang untuk (mencari keridhaan) kami niscaya akan kami tunjukkan mereka kepada jalan kami….”


Imam Asy-Syafi’i berkata, “Saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Dia menyerahkan saya ke Kuttab (sekolah yang ada di mesjid), dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas, maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya.  Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua”  ( Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).


Maka santri harus meneladani keteladan Imam Asy-Syafi’i beliau tidak pernah mengeluh jika orang tuanya tidak punya apa-apa, beliau terus melangkah dan berjuang agar mendapatkan ilmu. Tidak pernah berhenti di tengah jalan terus melangkah hingga menjadi seorang imam besar. Ketekunan, optimis, tidak pernah menyerah, bersabar dan sebagainya  itu yang beliau tanamkan dalam mendapatkan ilmu.


Kisah pimpinan dayah saya melewati berbagai macam rintangan kesulitan dalam menuntut ilmu yaitu kesulitan ekonomi sehingga ayah rohani kami mampu melewatinya hingga menjadi sukses.


Waled Mukhtaruddin lahir Gelumpang Sulu Timur, Krueng Geukueh Kecamatan Dewantara pada tanggal 31 desember 1963 pada hari Rabu, ayahnya bernama Tgk Alibasyah bin M.Hanafiah, ibunya bernama Basyariah binti Ismail. Ayah dan ibu beliau tinggal di Krung Geukueh hingga saat beliau lahir sampai umur beliau satu tahun. Pada usia beliau dua tahun beliau dan orang tuanya hijrah ke Jeunieb, karena dulu Jeunieb merupakan tempat merantau ayah beliau dan ayahnya di angkat menjadi anak angkat keluarga petua kaum di desa Ulee Rabo(Jeunieb).


Setelah meranjak umur beliau tujuh tahun, beliau mulai diantar ke sekolah MIN Jeunieb, pada saat ingin naik kelas enam beliau tidak naik kelas karena beliau sering bolos sekolah diakibatkan naik kereta api yang baru berfungsi. Beliau pada kelas satu dan kelas dua beliau diajarin ngaji oleh orang tua, Mulai kelas tiga dan empat mulai ngaji pada seorang pengasuh di samping rumah untuk belajar alquran, setelah itu beliau berguru lagi kapada tgk H. Amin Syarkawi menantu imam besar mesjid Jeunieb tgk Usman Ben untuk menambahi ilmunya lagi sampai kelas enam sekolah MIN.

Setelah tamat MIN beliau masuk PGA enam tahun, sementara masuk PGA beliau masuk ke dayah Darul Atiq Putra, belajar disalah satu ulama aceh atau pimpinan dayah tersebut yaitu waled  Dhiauddin, beliau tiga tahun pulang pergi karena membantu orang tua ke sawah dan ke kebun, dua tahun lagi baru menetap di dayah. Namun belajar tidak penuh untuk menimba ilmu agama karena beliau terpengaruh pada salah satu temannya untuk masuk ke dayah lhueng angen, sehingga beliau mengambil keputusan untuk minta izin ke tgk Abdullah  atau abon Abdullah sebagai peganti waled Dhiuddin yang meninggal dalam dua tahun beliau menetap, sehingga memberi izin oleh abon Abdullah , abon Abdullah merupakan alumni dayah Lhok Nibong.


Beliau masuk ke Dayah Lhok Nibong pada tahun 1980 ngaji bersama santri yang lain. dalam keseharian beliau mengaji dan sebagainya, pada tahun 1984 beliau mulai belajar tentang keahlian tukang di waktu yang segang, lambat laun beliau mulai menguasai keahlian tukang mulai dari membuat lemari, tong penyimpanan makanan ,tempat tidur dan sebagainya. Maka dari situlah beliau mulai mencari biaya untuk menambah biaya belajar beliau, Karena tidak mencukupi biaya yang dkirim di kampung oleh orang tuanya. Beliau juga ada bercocok tanam di kebun warga, seperti menanam cabe, jagung, tomat, kacang dan sebagainya untuk menambah lagi biaya belajar di dayah.


        Pada tahun 1985 terjadilah suatu peristiwa yang dialami oleh beliau disebabkan orang tuanya berpisah, beliau merasa seakan-akan dunia ini gelap gulita, beliau pasrah, sabar, tabah dan terguncang batin. Beliau jalani semua itu, akan tetapi biaya belajar beliau tidak terurus lagi karna orang tuanya sedang menyelesaikan proses perpisahan, sehingga agar tidak terjadi stress yang akan menimbulkan depresi beliau belajar di bidang elektronik diwaktu segang pada seorang teman alumni sekolah teknik di Langsa. Lambat laun beliau bisa menguasai dalam bidang radio, tipe recorder dan sebagainya, sehingga ada warga yang menyuruh memperbaiki alat elektronik kepada beliau, hasil tersebut untuk mencukupi biaya belajar beliau, dan beliau tetap menerima setiap pembuatan lemari, tempat tidur dan sebagainya dan hasil tersebut pun untuk biaya belajar beliau. Dengan penuh kesabaran dan ketabahan beliau pun menguasai ilmu agama seperti tauhid, fiqah dan tasauf.


Pada tahun 1991 beliau berumah tangga dengan anak petuah kaum di kampung halamannya, dan beliau pun mengajar di Dayah Darul Atiq Putra selama dua tahun, setelah itu beliau mendirikan dayah dirumah mertuanya di sebabkan pada saat itu terjadi konflik yang membuat orang takut anaknya jauh-jauh mengaji demi sedikit menjadi banyak sehingga sampai sekarang.


Istri beliau bernama Nurma, santri-santri memanggilnya bunda, beliau memiliki tiga orang anak yang petama bernama Nurul Wataniah, yang kedua bernama Nelis Sa’adah, yang bungsu bernama Abdul Aziz. Cita-cita beliau yang ingin mendirikan dayah dan ilmu yang dimilikinya diberikan kepada orang lain agar bermanfaat ilmunya, sehingga cita-cita beliau terwujud dan diberi namakannya dayah Baitul Huda.


Moto hidup beliau kesabaran itu yang paling utama, jika kita mampu melewatinya kita akan sukses dan dari diri kita sendiri yang mendorong untuk bersemangat untuk mencari ilmu jangan dikendalikan oleh orang lain. Contohlah  beliau seperti yang sabar dengan segala ujian yang Allah berikan kepadanya, beliau terus optimis dan usaha serta menyerahkannya kepada rabbi, sehingga beliau mampu melewati semuanya dan beliau mendapatkan hasil dan sukses.


Pernahkah melihat sejumlah semut mencari makan mereka berjuang mencari makan dengan semangat tanpa merasa lelah, mereka melewati berbagai macam rintangan dengan cara apapun, sehingga mereka mampu memperoleh makanan dari hasil usahan dan kerja kerasnya. Filosofi dari semut adalah bahwa mengajar tanpa usaha dan sabar kita tidak akan memperoleh keberhasilan.


Seekor kura-kura memiliki tempurung di belakang badannya ia selalu merangkul dimanapun ia pergi, walaupun harus mendaki gunung dan ia tak pernah mengeluh dalam keadaannya berjalan sangat lambat, ia berjalan lurus kedepan dan tidak pernah berjalan mundur melangkah sehingga sampai tujuan, filosofi dari kura-kura adalah bahwa tempurung yang ia miliki diumpamakan sebagai suatu masalah yang berat maka seperti kura-kura janganlah pernah merasa lelah dan bahkan lari dari suatu masalah walaupun berat, tetaplah bertahan dan hadapi dengan pasti.


Jalannya yang sangat lambat menanda bahwa ia sabar menghadapi semuanya dengan ia melewati kesabaran maka ia akan mencapai tujuannya maka kita harus memiliki rasa sabar agar kita mampu melewati semua kesulitan,  berjalan lurus kedepan dan tidak pernah mundur menunjukkan hendaknya kita seperti kura-kura dalam menjalani hidup ini harus maju berusaha dan pantang menyerah dalam mengerjakan suatu atau menyelesaikan suatu permasalahan. Inilah dua filosofi dari dua jenis hewan yang patut dicontohi dan menjadikan sebuah motivasi agar santri mampu menghadapi keadaannya di dayah tanpa harus mengeluh.    


        Mengasah diri menjadi seorang santri mampu menyesuaikan diri di dalam dayah itu adalah hal yang sangat diperlukan sebagai tempat pegangan bagi setiap santri, seorang santri mengalami kesulitan, apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara mencari solusi dan menyelesaikannya. Maka diperlukan kesesuaian diri untuk memilah segala sesuatu itu baikkah bagi dia atau bertentangan bagi dia, sehingga dia akan bertanya kepada orang yang mampu menyelesaikan masalahnya. Setiap kesulitan bisa dilewati setiap masalah bisa dipecahkan dengan adanya kemauan. Nah!


*Santriwati Baitul Huda Jeunieb – Bireuen


       


 


 


 


 


 


                                                                                                                                         


 


 


 


 


   


 


 




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DISYUKURI

Blog dan Youtube Mengantarkanku Menjadi Guru Inspiratif Terbaik Nasional